Posted by: sholehindonesia | January 11, 2009

PROSPEK PENDIDIKAN DI ERA GLOBALISASI:

p11600051Sejak dahulu, pendidikan merupakan wahana terpenting bagi masyarakat, baik sebagai wahana transformasi kebudayaan, sosialisasi dengan masyarakat sekitarnya, maupun sebagai wahana transformasi ilmu pengetahuan itu sendiri. Oleh karena itu bagi masyarakat, pendidikan merupakan elemen penting yang keberadaannya mengindikasikan keberadaan masyarakat itu sendiri.

Sejak zaman dahulu atau sekitar tahun 900-an Sebelum Masehi ketika pendidikan mulai dilembagakan di kota Sparta, pendidikan tidak pernah diarahkan untuk dirinya sendiri, akan tetapi pendidikan selalu dijadikan sebagai alat. Di sini pendidikan dapat menjadi alat apa saja, pendidikan sebagai alat menyalurkan ilmu pengetahuan, alat pembentukan watak, alat pelatihan keterampilan, alat penanaman ideology tertentu, alat untuk meningkatkan pekerjaan, alat investasi, alat meningkatkan kesadaran untuk hidup bersama, alat untuk menciptakan keadilan sosial, alat untuk melanggengakan kekuasaan, alat untuk mendominasi kelompok tertentu dan lain sebagainya.

Sebagai alat, pendidikan diabdikan pada sebuah atau beberapa tujuan yang hendak dicapai yang didalamnya terkandung visi dan misi. Disinilah terjadi perebutan pengaruh dari berbagai kekuatan lengkap dengan ideologinya masing-masing, yang tidak jarang mengorbankan proses dan tujuan sosial pendidikan itu sendiri. Pada kondisi ini kekuatan politik dan ekonomi memegang peranan penting. Politik dengan kekuatan kekuasaannya akan terus memaksakan pendidikan sebagai ajang perebutan pengaruh, begitu pun dengan ekonomi, dengan kekuatan modalnya, pendidikan dijadikan ajang bisnis untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya, sehingga terjadilah apa yang disebut komersialisasi pendidikan.

Komersialisasi pendidikan ini yang pada akhirnya akan menjadikan pendidikan yang bagi sebagian orang digunakan untuk mengakumulasi kapital dan mengeruk keuntungan. Pada kondisi ini pendidikan diletakkan sebagai komoditi yang pada akhirnya akan menjadi barang mahal, yang hanya dapat dijangkau oleh kelompok-kelompok tertentu saja, sedangkan masyarakat secara lebih besar tidak mampu menikmati kemajuan pendidikan karena keterbatasan ekonomi mereka.

Akibatnya terjadi ketidakmerataan pendidikan di kalangan masyarakat, pendek kata terdapat ketimpangan pelayanan pendidikan. Pendidikan hanya  mampu dijangkau oleh suatu kelompok yang secara ekonomi diuntungkan (mapan) oleh struktur dan sistem sosial yang ada. Sementara bagi mereka yang datang dari kelas yang dieksploitasi secara ekonomi tidak akan mampu menjangkau pendidikan. Ini berarti, bagi mereka yang memiliki uang dan mampu membayarnya, maka ia akan memperoleh pelayanan dan mutu pendidikan yang maksimal, sementara yang tidak mampu, maka ia akan menikmati pendidikan  seadanya, bahkan tidak jarang mereka tidak mampu mengakses pendidikan sama sekali. Pendidikan yang telah sekian lama menjadi usaha kolektif manusia untuk mempertahankan eksistensi dan budayanya, saat ini telah mengalami pergeseran orientasi, visi, misi dan ideologi yang berakibat pada ancaman bagi eksistensi manusia itu sendiri.

Pada kasus ini hakekat pendidikan yakni sebagai suatu strategi kebudayaan manusia untuk mempertahankan eksistensi dan budayanya telah telah dirontokkan oleh sistem ekonomi yang lebih menekankan pada aspek permodalan yang telah melahirkan kelas-kelas di masyarakat. Semua sistem dan struktur ekonomi kapitalistik telah membuat praktek pendidikan justru melanggengkan kelas sosial dan ketidakadilan sosial. Untuk itu kita harus mencegah agar pendidikan tidak sampai berakibat menjadikan manusia terdidik menjadi eklusivistik, elitis karena kedudukannya sebagai kelas terpelajar.

Dalam hal ini  apa yang dikemukakan oleh Brubacher yakni “pendidikan, jika bukan kekuasaan, paling sedikit adalah kekuasaan yang berpotensial. Pendidikan akan memberi manusia apa yang tidak ia miliki sebelumnya, pendidikan akan memberikan alat proteksi yang selalu efektif bagi minat mereka”. Di samping itu, pendidikan dengan segala kekurangan dan kelebihannya mampu melahirkan manusia-manusia dengan berbagai kedudukan dan zamannya.

Berkaitan dengan era globalisasi yang kini kian mendunia, gejala ini ditandai dengan pesatnya perkembangan teknologi komunikasi dan informasi, yang mengakibatkan terjadinya ledakan informasi di berbagai penjuru dunia. Perkembangan ini telah mendorong umat manusia untuk selalu bersiap diri dengan berbagai kemungkinan yang diakibatkan kuatnya gelombang informasi tersebut. Proses informatisasi yang cepat semakin membuat horison kehidupan di dunia ini semakin meluas dan sekaligus dunia ini semakin mengerut. Hal ini berarti berbagai permasalahan kehidupan manusia menjadi masalah global atau setidak-tidaknya tidak dapat dilepaskan dari pengaruh kejadian di belahan bumi yang lain, baik masalah poilik, ekonomi maupun sosial.[1]

Disadari atau tidak, pesatnya perkembangan teknologi komunikasi dan informasi telah menyebabkan menipisnya perbedaan ruang dan waktu. Sebagaimana kita tahu, bahwa suatu peristiwa yang terjadi di daratan Amerika dan Eropa dapat kita saksikan di rumah kita masing-masing saat itu juga (saat peristiwa tersebut berlangsung).

Kondisi seperti ini tidak bisa dihindarkan oleh siapapun dan di manapun. Dalam hal ini “menghindar” bukanlah jawaban yang tepat dari kondisi ini. Oleh karena itu kita dituntut untuk mampu menghadapi kondisi ini dengan berbagai persiapan dan kemampuan dimiliki. Globalisasi menghadirkan sejumlah peluang dan tantangan yang secara sepenuhnya diserahkan kepada manusia untuk menyikapinya. Disinilah kemampuan dan strategi manusia dipertaruhkan, apakah ia mampu mengambil peluang tersebut untuk kebaikannya ataukah ia malah terjebak dan bahkan kalah dari tantangan yang dihadapi, begitupun halnya dengan dunia pendidikan.

Dalam dunia pendidikan, pengaruh gelombang globalisasi yang ditandai dengan menguatnya paham pasar bebas juga begitu terasa. Pada era ini tradisi umat manusia untuk mempertahankan eksistensi mereka melalui pendidikan mendapat tantangan serius, karena pendidikan ternyata bagi sebagian manusia dapat digunakan untuk mengakumulasi kapital dan mengeruk keuntungan sebagaimana disebutkan di atas. Bagaimana mungkin tradisi manusia tentang visi pendidikan sebagai strategi untuk eksistensi manusia yang telah direproduksi selama berabad-abad ini, diganti oleh suatu visi yang meletakkan pendidikan sebagai komoditi,[2] yang pada gilirannya menjadikan pendidikan sebagai komoditas perekenomian. Pada kondisi ini pendidikan yang layak akan menjadi barang  mahal, yang tidak semua orang mampu menjangkaunya.

Seperti dikemukakan di atas, bahwa globalisalsi menghadirkan sejumlah peluang positif untuk hidup lebih mudah, nyaman, murah, indah dan maju; juga dapat menghadirkan peluang negatif sekaligus, yaitu menimbulkan keresahan, penderitaan dan penyesatan. Globalisai bekerja selama 24 jam dengan menawarkan banyak pilihan dan kebebasan yang bersifat pribadi. Pendek kata dewasa ini telah terjadi banjir pilihan dan banjir peluang. Terserah kemampuan seseorang untuk memilihnya. U Thant, mantan Sekjen PBB pada tahun 1970-an, mengatakan bahwa saat ini sumber daya tidak lagi membatasi keputusan, tetapi keputusanlah yang menciptakan sumber daya.[3]

Dalam persepektif pendidikan, mampukah kita menciptakan dan mengembangkan sistem pendidikan yang menghasilkan lulusan yang mampu memilih tanpa kehilangan peluang dan jati dirinya. Karena kecenderungan globalisasi tersebut merupakan suatu gejala yang tidak dapat dihindari, oleh karena itu banyak gagasan dalam menghadapi globalisasi ini yang menekankan perlunya berfikir dan berwawasan global namun harus tetap menyesuaikan keputusan dan tindakan dengan kenyataan nyata di depannya.  Dalam hal ini Muchtar Buchori sebagaimana yang dikutip Umar Tirtaraharja dan S. L. La Sulo, berpendapat “think globally but act locally”. Untuk latar Indonesia yang menganut semboyan Bhineka Tunggal Ika, hal itu tidak hanya mempertimbangkan aspek nasional tetapi juga aspek lokal di daerah yang bersangkutan.[4]

Dengan pesatnya perkembangan teknologi komunikasi dan informasi sebagai akibat dari gelombang globalisasi, maka sebenarnya hal ini merupakan peluang bagi pendidikan untuk mengembangkan dirinya secara lebih baik dan merata. Paling tidak, dengan persediaan dan pengembangan teknologi pembelajaran yang tiada henti akan lebih memacu kualitas pembejaran yang berbasiskan teknologi agar semakin ditingkatkan.

Dalam hal pemerataan pendidikan, dengan pesatnya perkembangan teknologi komunikasi dan informasi paling tidak mampu menyelenggarakan pendidikan di daerah-daerah terpencil, misalnya dengan model pendidikan jarak jauh. Hal ini merupakan peluang untuk lebih meningkatkan kualitas dan pemerataan pendidikan di Indonesia. Sehingga diharapkan terjadi peningkatan  baik dari segi kualitas maupun kuantitas peserta didik yang mengikuti pendidikan.

Disinilah kemampuan dan ketajaman strategi manusia-manusia pendidikan Indonesia diuji. Oleh karena itu diperlukan suatu pengembangan strategi baru dalam menghadapi gelombang globaliasasi ini.

Dalam menyikapi gelombang globalisasi yang semakin pesat, UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) menyikapinya dengan mengukuhkan kembali beberapa rekomendasi pada Oktober 1994 di Jenewa, yang tertuang dalam dokumen UNESCO, Integrated Framework of Action on Education for Peace, Human Right and Democracy, yaitu:[5]

  1. Pendidikan hendaknya mengembangkan kemampuan untuk mengakui dan menerima nilai-nilai yang ada di dalam kebhinekaan pribadi, jenis kelamin, masyarakat dan budaya serta mengembangkan kemampuan untuk berkomunikasi, berbagi dan bekerjasama dengan yang lain.
  2. Pendidikan  hendaknya meneguhkan jati diri dan mendorong konvergensi gagasan dan penyelesaian-penyelesaian yang memperkokoh perdamaian, persaudaraan dan solidaritas antara pribadi-pribadi dan masyarakat.
  3. Pendidikan hendaknya mengembangkan kemampuan penyelesaian konflik secara damai tanpa kekerasan. Oleh karena itu maka pendidikan hendaknya juga meningkatkan pengembangan kedamaian  dalam diri dan pikiran peserta didik, sehingga dengan demikian mereka mampu membangun secara lebih kokoh kualitas toleransi, kesabaran, kemauan untuk berbagi dan memelihara.
  4. Pendidikan hendaknya menanamkan perasaan soldaritas dan kesamaan pada peringkat nasional dan internasional, dalam perspektif pembangunan yang seimbang dan lestari.

 

Keempat rekomendasi UNESCO tersebut merupakan strategi pendidikan dalam menghadapi pesatnya gelombang globaliasasi. Akan tetapi yang tidak kalah pentingnya, yakni strategi penguatan internal institusi, yang meliputi:

  1. Penguatan institusi dengan kebijakan-kebijakan yang mendukung. Di sini reformasi pendidikan perlu mengembangkan sejumlah kebijakan makro maupun mikro dalam rencana jangka panjang, jangka menengah dan jangka pendek.[6]
  2. Penataan manajemen mulai dari perencanaan hingga evaluasi
  3. Pengembangan dan peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia, tanpa SDM yang unggul maka akan sulit bahkan mustahil dapat meningkatkan pendidikan yang mampu survive dan bersaing dengan perkembangan global.
  4. Kemampuan beradaptasi dengan pergaualan global atau internasional, ini tentunya membutuhkan pengetahuan, wawasan global dan kemampuan berkomunikasi serta kemampuan berbahasa.

Pada akhirnya strategi ini akan sangat tergantung pada kuatnya kemauan dan kemampuan manusia-manusia pendidikan Indonesia untuk memanfaatkan peluang-peluang yang tersedia di era globaliasasi ini.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21, Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2003, cet. ke-1

 

Rahardjo M. Dawam, (ed), Keluar Dari Kemelut Pendidikan Nasional: Menjawab Tantangan Kualitas Sumber Daya Manusia Abad 21, Jakarta: Intermasa, 1997, cet. ke-1

 

Tilaar H.A.R., Manajemen Pendidikan Nasional: Kajian Pendidikan Masa Depan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001, cet. ke-5

 

Tirtaraharja Umar dan S. L. La Sulo, Pengantar Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 2005, edisi revisi, cet. ke-1

Wahono Francis, Kapitalisme Pendidikan Antara Kompetisi dan Keadilan, Yogyakarta: Insist Press, Cindelaras dan Pustaka Pelajar, 2001, cet. ke-1, p. xi


[1] H.A.R. Tilaar, Manajemen Pendidikan Nasional: Kajian Pendidikan Masa Depan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), cet. ke-5, p. 4

[2] Mansour Faqih dalam Pengantar Francis Wahono, Kapitalisme Pendidikan Antara Kompetisi dan Keadilan, (Yogyakarta: Insist Press, Cindelaras dan Pustaka Pelajar, 2001), cet. ke-1, p. xi

[3] Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2003), cet. ke-1, p. 10

[4] Umar Tirtaraharja dan S. L. La Sulo, Pengantar Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), edisi revisi, cet. ke-1, pp. 134-135.

[5] M. Dawam Rahardjo, (ed), Keluar Dari Kemelut Pendidikan Nasional: Menjawab Tantangan Kualitas Sumber Daya Manusia Abad 21, (Jakarta: Intermasa, 1997), cet. ke-1, p. 54

[6] Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional: Rekonstruksi dan Demokratisasi, (Jakarta: Kompas, 2002), cet. ke-1, p. xvii

 

 


Leave a comment

Categories